Perang Dunia Ke 3 Indonesia

Perang Dunia Ke 3 Indonesia

INSTABILITAS POLITIK DAN EKONOMI GLOBAL

Konflik di Timur Tengah tidak hanya berdampak pada kawasan tersebut, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi global. Sebagai wilayah strategis dalam perdagangan minyak dunia, konflik yang terus berlarut-larut dapat mengguncang ekonomi global dan menciptakan ketegangan antar negara. Dalam kondisi seperti ini, perang besar bisa menjadi kenyataan jika ketegangan ekonomi dan politik tidak segera diredam.

Apa Itu Perang Dunia Ke-3?

Perang Dunia Ke-3 adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan konflik militer hipotetis skala besar yang melibatkan banyak negara di seluruh dunia, mirip dengan Perang Dunia I dan II. Konflik ini sering kali dikaitkan dengan penggunaan senjata nuklir dan teknologi canggih lainnya yang bisa menyebabkan kehancuran besar-besaran.

DUKUNGAN DARI BLOK-BLOK INTERNASIONAL

Sistem aliansi internasional juga memainkan peran penting dalam kemungkinan terjadinya Perang Dunia ke-3. Negara-negara di Timur Tengah memiliki aliansi dengan kekuatan besar dunia. Sebagai contoh, Israel didukung oleh Amerika Serikat, sementara Iran memiliki hubungan erat dengan Rusia. Jika konflik antara negara-negara Timur Tengah mencapai titik kritis, blok-blok internasional ini bisa saling berhadapan secara langsung, memperbesar potensi perang global.

Sekutu mendekat (1944)

Pada tanggal 6 Juni 1944 (dikenal sebagai D-Day), setelah tiga tahun ditekan Soviet,[139] Sekutu Barat menyerbu Prancis Utara. Setelah menyusun kembali beberapa divisi Sekutu dari Italia, mereka juga menyerang Prancis Selatan.[206] Semua pendaratan ini berhasil dan berakhir dengan kekalahan unit Angkatan Darat Jerman di Prancis. Paris dibebaskan oleh pemberontak lokal yang dibantu Pasukan Prancis Merdeka pada tanggal 25 Agustus[207] dan Sekutu Barat terus memukul pasukan Jerman di Eropa Timur sepanjang paruh terakhir tahun ini. Sebuah upaya bergerak maju melintasi Jerman Utara yang diawali dengan operasi udara besar-besaran di Belanda tidak berhasil.[208] Setelah itu, Sekutu Barat pelan-pelan masuk wilayah Jerman, namun gagal menyeberangi Sungai Rur dalam serangan besar. Di Italia, serbuan Sekutu juga terhambat saat mereka melintasi garis pertahanan besar Jerman terakhir.

Pada tanggal 22 Juni, Soviet mengadakan serangan strategis di Belarus ("Operasi Bagration") yang berakhir dengan nyaris kehancuran total Pusat Grup Angkatan Darat Jerman.[209] Tidak lama selepas itu, serangan strategis Soviet lainnya mengusir tentara Jerman dari Ukraina Barat dan Polandia Timur. Pergerakan Soviet sukses memaksa pasukan pemberontak di Polandia memulai sejumlah pemberontakan, meski yang terbesar di Warsawa, serta Pemberontakan Slowakia di selatan, tidak dibantu Soviet dan dipadamkan oleh pasukan Jerman.[210] Serangan strategis Pasukan Merah di Rumania timur memecah belah dan menghancurkan pasukan Jerman di sana sekaligus berhasil menggulingkan pemerintahan di Rumania dan Bulgaria, diikuti dengan memihaknya negara-negara tersebut ke Sekutu.[211]

Pada bulan September 1944, tentara Angkatan Darat Merah Soviet melaju hingga Yugoslavia dan memaksa penarikan cepat Grup Angkatan Darat Jerman E dan F di Yunani, Albania, dan Yugoslavia untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran.[212] Pada saat ini, Partisan Komunis pimpinan Marsekal Josip Broz Tito, yang memulai kampanye gerilya sukses melawan pendudukan sejak 1941, menguasai sebagian besar teritori Yugoslavia dan terlibat dalam menunda serangan terhadap pasukan Jerman di selatan. Di Serbia utara, Pasukan Merah, dengan bantuan terbatas dari pasukan Bulgaria, membantu Partisan dalam pembebasan bersama ibu kota Belgrade tanggal 20 Oktober. Beberapa hari kemudian, Soviet melancarkan serangan massal terhadap Hungaria dudukan Jerman yang berlangsung sampai jatuhnya Budapest pada bulan Februari 1945.[213] Kebalikan dengan kemenangan impresif Soviet di Balkan, pemberontakan Finlandia terhadap serangan Soviet di Tanah Genting Karelia menggagalkan pendudukan Soviet di Finlandia dan berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata Soviet-Finlandia pada kondisi relatif kondusif,[214][215] disertai memihaknya Finlandia ke Sekutu.

Pada awal Juli, pasukan Persemakmuran di Asia Tenggara menggagalkan pengepungan Jepang di Assam, memukul pasukannya kembali hingga Sungai Chindwin[216] sementara Tiongkok mencaplok Myitkyina. Di Tiongkok, Jepang menuai kesuksesan besar, berhasil mencaplok Changsha pada pertengahan Juni dan kota Hengyang pada awal Agustus.[217] Selepas itu, mereka menyerbu provinsi Guangxi, memenangkan pertempuran besar melawan pasukan Tiongkok di Guilin dan Liuzhou pada akhir November[218] dan berhasil menyatukan pasukan mereka di Tiongkok dan Indochina pada pertengahan Desember.[219]

Di Pasifik, pasukan Amerika Serikat terus menekan mundur perimeter Jepang. Pada pertengahan Juni 1944, mereka memulai serangan ke Kepulauan Mariana dan Palau, dan dengan telak mengalahkan pasukan Jepang pada Pertempuran Laut Filipina. Kekalahan-kekalahan ini memaksa Perdana Menteri Jepang Tōjō mengundurkan diri dan memberi Amerika Serikat keunggulan atas pangkalan udara baru untuk melancarkan serangan bom besar-besaran di kepulauan utama Jepang. Pada akhir Oktober, pasukan Amerika Serikat menyerbu pulau Leyte, Filipina; tidak lama kemudian, angkatan laut Sekutu mencetak kemenangan besar pada Pertempuran Teluk Leyte, salah satu pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah.[220]

Front dalam negeri dan produksi

Di Eropa, sebelum pecah perang, Sekutu memiliki keunggulan signifikan dalam hal populasi dan ekonomi. Pada tahun 1938, Sekutu Barat (Britania Raya, Prancis, Polandia, dan Jajahan Britania) memiliki populasi 30 persen lebih besar dan produk domestik bruto 30 persen lebih besar daripada Poros Eropa (Jerman dan Italia); jika koloni disertakan dalam hitungan, Sekutu mendapatkan keunggulan 5:1 dalam jumlah penduduk dan 2:1 dalam PDB.[321] Di Asia pada saat yang sama, Tiongkok memiliki jumlah penduduk enam kali lebih banyak daripada Jepang, tetapi PDB yang 89 persen lebih tinggi; jumlah ini berkurang menjadi populasi tiga kali lebih banyak dan PDB 38 persen lebih tinggi jika koloni-koloni Jepang disertakan dalam hitungan.[321]

Meski keunggulan ekonomi dan populasi Sekutu dimanfaatkan besar-besaran selama serangan blitzkrieg awal Jerman dan Jepang, mereka menjadi faktor penentu pada tahun 1942, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, setelah sebagian besar perang ini menjadi perang atrisi.[322] Sementara kemampuan Sekutu untuk melampaui produksi Poros sering dikaitkan dengan akses Sekutu yang besar ke sumber daya alam, faktor-faktor lain, seperti keengganan Jerman dan Jepang untuk mempekerjakan wanita dalam tenaga kerja,[323][324] pengeboman strategis oleh Sekutu,[325][326] dan peralihan terbaru Jerman ke ekonomi perang[327] sangat berkontribusi besar. Selain itu, baik Jerman maupun Jepang tidak berencana mengadakan perang yang berkepanjangan, dan tidak sanggup melakukannya.[328][329] Untuk meningkatkan produksi mereka, Jerman dan Jepang memanfaatkan jutaan buruh budak;[330] Jerman memanfaatkan 12 juta orang, kebanyakan dari Eropa Timur,[306] sementara Jepang memanfaatkan lebih dari 18 juta orang di Asia Timur Jauh.[314][315]

Di Eropa, pendudukan muncul dalam dua bentuk yang sangat berbeda. Di Eropa Barat, Utara, dan Tengah (Prancis, Norwegia, Denmark, Negara-Negara Hilir, dan wilayah Cekoslowakia yang dianeksasi), Jerman menerapkan kebijakan ekonomi yang berhasil mengumpulkan 69,5 miliar reichmark (27,8 miliar dolar AS) pada akhir perang; jumlah ini tidak meliputi perampokan produk industri, perlengkapan militer, bahan mentah, dan barang-barang lain.[331] Dari situ, pendapatan yang muncul dari negara-negara pendudukan mencapai 40 persen dari pendapatan yang dikumpulkan Jerman dari pajak, jumlah yang meningkat hampir 40 persen dari total pendapatan Jerman sepanjang perang.[332]

Di Timur, keuntungan yang diharapkan dari Lebensraum tidak pernah didapatkan karena garis depan yang berfluktuasi dan kebijakan bumi hangus Soviet memusnahkan sumber daya bagi para penjajah Jerman.[333] Tidak seperti di Barat, kebijakan ras Nazi mengizinkan kekejaman berlebihan terhadap "orang inferior" keturunan Slavik; sebagian besar serbuan Jerman disertai dengan eksekusi massal.[334] Meski kelompok pemberontak berdiri di hampir semua teritori pendudukan, mereka tidak mengganggu operasi Jerman baik di Timur[335] maupun Barat[336] sampai akhir tahun 1943.

Di Asia, Jepang menyebut negara-negara di bawah pendudukannya sebagai bagian dari Lingkup Persemakmuran Asia Timur Raya, yang pada dasarnya merupakan hegemoni Jepang yang diklaim bertujuan membebaskan bangsa yang dikolonisasi.[337] Meski pasukan Jepang awalnya disambut sebagai pembebas dari dominasi Eropa di sejumlah daerah, kekejaman mereka yang berlebihan mengubah opini publik menjadi menentang mereka dalam hitungan minggu.[338] Selama penaklukan awal Jepang, negara ini mencaplok 4.000.000 barel (640.000 m3) minyak (~5.5×105 ton) yang ditinggalkan oleh pasukan Sekutu yang mundur, dan pada tahun 1943 Jepang mampu merebut produksi minyak di Hindia Timur Belanda hingga 50 milliar barel, 76 persen dari tingkat produksinya tahun 1940.[338]

Perang Saudara Spanyol (1936-39)

Jerman dan Italia memberi dukungan kepada para pemberontak Nasionalis yang dipimpin Jenderal Francisco Franco di Spanyol. Uni Soviet mendukung pemerintah yang sudah berdiri, Republik Spanyol, yang memiliki kecenderungan sayap kiri. Baik Jerman dan Uni Soviet memakai perang proksi ini sebagai kesempatan menguji senjata dan taktik baru mereka. Pengeboman Guernica yang disengaja oleh Legiun Condor Jerman pada April 1937 berkontribusi pada kekhawatiran bahwa perang besar selanjutnya akan melibatkan serangan bom teror besar-besaran terhadap warga sipil.[25][26]

Trump Ungkap AS 'Hemat' Bantuan Ke Ukraina

KEMUNGKINAN KETERLIBATAN MILITER NUKLIR

Salah satu faktor paling mengkhawatirkan yang dapat memicu Perang Dunia ke-3 adalah keterlibatan negara-negara dengan kekuatan militer nuklir dalam konflik di Timur Tengah. Iran, sebagai salah satu negara di kawasan tersebut, memiliki program nuklir yang kontroversial. Jika negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau Israel melihat Iran sebagai ancaman langsung, tindakan militer untuk mencegah perkembangan nuklir bisa memicu reaksi berantai yang berujung pada eskalasi global.

Potensi konflik di Timur Tengah untuk memicu Perang Dunia ke-3 bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Dengan kompleksitas geopolitik, kepentingan ekonomi, dan perseteruan sektarian, wilayah ini selalu berada di pusat perhatian internasional. Untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, dibutuhkan diplomasi yang efektif serta keterlibatan komunitas internasional untuk menciptakan solusi damai yang berkelanjutan. Hanya dengan cara ini kita bisa menghindari risiko konflik global yang lebih besar.

All Channels MARKET NEWS ENTREPRENEUR SHARIA TECH LIFESTYLE OPINI MY MONEY CUAP CUAP CUAN RESEARCH

All Article Types Artikel Foto Video Infografis

Perang Dunia III atau Perang Dunia Ketiga, sering disingkat sebagai PD III atau PD 3, adalah nama yang diberikan untuk konflik militer hipotetis skala besar ketiga di seluruh dunia setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Istilah ini telah digunakan setidaknya sejak 1941. Istilah ini kadang juga digunakan untuk merujuk pada konflik yang terbatas atau konflik yang kecil seperti Perang Dingin atau perang melawan terorisme. Sebaliknya, ada pula asumsi bahwa Perang Dunia III akan melampaui perang dunia sebelumnya baik dalam lingkup dan dampak destruktif.[1]

Potensi risiko kiamat nuklir yang menyebabkan kehancuran luas peradaban dan kehidupan Bumi adalah tema umum dalam spekulasi tentang perang dunia ketiga. Hal ini terutama didorong oleh pengembangan senjata nuklir di Proyek Manhattan, yang digunakan dalam pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki menjelang akhir Perang Dunia II, serta akuisisi serta penyebaran senjata nuklir oleh banyak negara setelahnya. Kekhawatiran utama lainnya adalah berkembangnya perang biologis yang dapat menyebabkan banyak korban. Perang ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, misalnya akibat pelepasan agen biologis yang tidak disengaja, mutasi agen yang tidak terduga, atau adaptasi senjata biologis menjadi spesies lain setelah digunakan. Peristiwa apokaliptik skala besar seperti ini, yang disebabkan oleh teknologi senjata pemusnah dan penghancur canggih, dapat mengakibatkan permukaan Bumi tidak dapat dihuni.

Sebelum dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, Perang Dunia I (1914–1918) diyakini sebagai "perang untuk mengakhiri [semua] perang". Secara populer diyakini bahwa tidak akan pernah lagi mungkin ada konflik global sebesar itu. Selama periode antar perang, Perang Dunia I biasanya hanya disebut sebagai "Perang Besar". Pecahnya Perang Dunia II menyangkal harapan bahwa umat manusia telah berhasil mencegah terjadinya perang global yang meluas.[2]

Dengan munculnya Perang Dingin pada tahun 1945 dan dengan penyebaran teknologi senjata nuklir ke Uni Soviet, kemungkinan konflik global ketiga menjadi lebih masuk akal. Selama tahun-tahun Perang Dingin, kemungkinan perang dunia ketiga diantisipasi dan direncanakan oleh otoritas militer dan sipil di banyak negara. Skenario ini berkisar dari perang konvensional hingga perang nuklir terbatas atau total. Pada puncak Perang Dingin, doktrin penghancuran bersama (MAD "Mutually Assured Destruction" ), yang menetapkan bahwa konfrontasi nuklir habis-habisan akan menghancurkan semua negara yang terlibat dalam konflik, telah dikembangkan. Potensi kehancuran mutlak spesies manusia mungkin telah berkontribusi pada kemampuan para pemimpin Amerika dan Soviet untuk menghindari skenario tersebut.

Sejumlah opini telah menyatakan keprihatinan bahwa invasi Rusia 2022 yang sedang berlangsung ke Ukraina dapat meningkat menjadi Perang Dunia III.[3][4][5] Pada April 2022, televisi pemerintah Rusia menyatakan bahwa perang dunia ketiga telah dimulai, memberitahu Rusia untuk "mengakui" bahwa negara itu sekarang "berperang melawan infrastruktur NATO, jika bukan NATO sendiri" di Ukraina..[6]

Perencana militer telah menciptakan berbagai skenario, yang bersiap untuk bagian yang terburuk, sejak hari-hari awal Perang Dingin. Beberapa dari rencana tersebut sekarang sudah usang dan telah dibuka sebagian atau seluruhnya.

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill khawatir bahwa, dengan besarnya jumlah pasukan Soviet yang dikerahkan di Eropa pada akhir Perang Dunia II dan pemimpin Soviet Joseph Stalin yang tidak dapat diandalkan, ada ancaman serius bagi Eropa Barat. Pada April – Mei 1945, Angkatan Bersenjata Inggris mengembangkan Operasi Unthinkable, yang dianggap sebagai skenario pertama Perang Dunia Ketiga.[7] Tujuan utamanya adalah "untuk memaksakan keinginan Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris kepada Rusia".[8] Rencana tersebut ditolak oleh Kepala Staf Komite Inggris karena tidak sah secara militer.

"Operation Dropshot" adalah rencana kontingensi Amerika Serikat tahun 1950-an untuk kemungkinan perang nuklir dan konvensional dengan Uni Soviet di teater Eropa dan Asia Barat. Meskipun skenario tersebut menggunakan senjata nuklir, mereka tidak diharapkan tidak akan terlibat.

Pada saat persenjataan nuklir AS terbatas jumlahnya, sebagian besar berbasis di Amerika Serikat, dan bergantung pada pengirim pembom-nya. "Dropshot" merupakan misi yang akan menggunakan 300 bom nuklir dan 29.000 bom dengan daya ledak tinggi sekitar 200 target di 100 kota besar dan kecil untuk memusnahkan 85% potensi industri Uni Soviet dengan satu pukulan. Sekitar 75 dan 100 dari 300 senjata nuklir ditargetkan untuk menghancurkan pesawat tempur Soviet di darat.

Skenario ini dirancang sebelum pengembangan rudal balistik antarbenua. Hal ini juga dirancang sebelum Presiden AS John F. Kennedy dan Menteri Pertahanan-nya Robert McNamara mengubah rencana AS Perang Nuklir dari 'kota pembunuhan' imbangan rencana pemogokan untuk"penangkis" Rencana (ditargetkan lebih lanjut di pasukan militer). Senjata nuklir saat ini belum cukup akurat untuk menghantam pangkalan angkatan laut tanpa menghancurkan kota yang berdekatan dengannya, sehingga tujuan penggunaannya adalah untuk menghancurkan kapasitas industri musuh dalam upaya melumpuhkan ekonomi perang mereka.

Pada Januari 1950, Dewan Atlantik Utara menyetujui strategi penahanan militer NATO.[9] Perencanaan militer NATO menjadi semakin mendesak setelah pecahnya Perang Korea pada awal 1950-an, yang akhirnya mendorong NATO untuk membentuk "kekuatan di bawah komando terpusat, yang memadai untuk mencegah agresi dan untuk memastikan pertahanan Eropa Barat". Komando Sekutu Eropa didirikan di bawah Jenderal Angkatan Darat Dwight D. Eisenhower, Angkatan Darat AS, pada 2 April 1951. The Western Union Organisasi Pertahanan sebelumnya melakukan Latihan Verity, latihan multilateral tahun 1949 yang melibatkan serangan udara angkatan laut dan serangan kapal selam. Latihan Mainbrace mengumpulkan 200 kapal dan lebih dari 50.000 personel untuk melatih pertahanan Denmark dan Norwegia dari serangan Soviet pada tahun 1952. Ini merupakan latihan besar NATO yang pertama.[10][11] Latihan itu dipimpin bersama oleh Komandan Tertinggi Sekutu Laksamana Atlantik Lynde D. McCormick, USN, dan Komandan Tertinggi Sekutu Eropa Jenderal Matthew B Ridgeway, dari Angkatan Darat AS, selama musim gugur tahun 1952.

Latihan Grand Slam dan Longstep adalah latihan angkatan laut yang diadakan di Laut Mediterania selama tahun 1952 untuk melatih bagaimana mengusir pasukan pendudukan musuh dan penyerangan amfibi. Ini melibatkan lebih dari 170 kapal perang dan 700 pesawat di bawah komando keseluruhan Laksamana Robert B. Carney. Komandan latihan militer, Laksamana Carney merangkum pencapaian Latihan Grand Slam dengan menyatakan: "Kami telah menunjukkan bahwa komandan senior dari keempat kekuatan dapat berhasil mengambil alih gugus tugas campuran dan menanganinya secara efektif sebagai unit kerja."

Uni Soviet menyebut latihan tersebut sebagai "tindakan seperti perang" oleh NATO, dengan sumber khusus bahwa partisipasi Norwegia dan Denmark, dan mempersiapkan manuver militernya sendiri di Zona Soviet.[12][13]

"Latihan Strikeback" adalah latihan besar angkatan laut NATO yang diadakan pada tahun 1957, yang mensimulasikan respons terhadap serangan habis-habisan Soviet terhadap NATO. Latihan ini melibatkan lebih dari 200 kapal perang, 650 pesawat, dan 75.000 personel dari Angkatan Laut Amerika Serikat, Royal Navy Britania Raya, Royal Canadian Navy, Angkatan Laut Prancis, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, dan Angkatan Laut Kerajaan Norwegia. Latihan ini dianggap sebagai operasi angkatan laut masa damai terbesar hingga saat itu, Latihan Serangan balik ini dianggap oleh analis militer Hanson W. Baldwin dari The New York Times sebagai "merupakan armada penyerang terkuat yang dikumpulkan sejak Perang Dunia II".[14]

Latihan Reforger (dari return forces for Germany) adalah latihan tahunan yang dilakukan, selama Perang Dingin, oleh NATO. Latihan itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa NATO memiliki kemampuan untuk segera mengerahkan pasukan ke Jerman Barat jika terjadi konflik dengan Pakta Warsawa. Pakta Warsawa memiliki kekuatan konvensional melebihi jumlah NATO selama Perang Dingin, terutama hal kendaraan lapis baja. Oleh karena itu, jika terjadi invasi Soviet, agar tidak menggunakan serangan nuklir taktis, pasukan NATO yang menahan garis melawan ujung tombak kendaraan lapis baja Pakta Warsawa harus segera disuplai dan diganti. Sebagian besar dari dukungan ini akan datang dari seberang Atlantik Amerika Utara.

Reforger bukan hanya unjuk kekuatan — jika terjadi konflik, latihan akan menjadi rencana aktual untuk memperkuat kehadiran NATO di Eropa. Dalam hal ini, latihan ini akan disebut sebagai Operasi Reforger. Komponen penting dalam Reforger termasuk Komando Pengangkutan Udara Militer, Komando Pengangkutan Laut Militer, dan Armada Udara Cadangan Sipil.

"Tujuh hari ke Sungai Rhine" adalah latihan simulasi militer rahasia yang dikembangkan pada tahun 1979 oleh Pakta Warsawa.[15] Ini dimulai dengan perkiraan bahwa NATO akan melancarkan serangan nuklir di lembah sungai Vistula dalam skenario serangan pertama, yang akan mengakibatkan sebanyak dua juta korban sipil Polandia. Sebagai tanggapan, serangan balik Soviet akan dilakukan terhadap Jerman Barat, Belgia, Belanda dan Denmark, dengan pasukan Pakta Warsawa menyerang Jerman Barat dan bertujuan untuk berhenti di Sungai Rhine pada hari ketujuh. Rencana Uni Soviet lainnya berhenti hanya setelah mencapai perbatasan Prancis pada hari kesembilan. Masing-masing negara bagian Pakta Warsawa hanya diberi bagian gambar strategis mereka sendiri; dalam hal ini, pasukan Polandia diharapkan hanya maju sampai ke Jerman. Rencana Tujuh Hari ke Rhine membayangkan bahwa sebagian besar wilayah Polandia dan Jerman akan dihancurkan oleh ledakan nuklir, dan sejumlah besar pasukan akan mati karena radiasi nuklir. Diperkirakan NATO akan menembakkan senjata nuklir di belakang garis Soviet yang bergerak maju untuk memutus jalur pasokan mereka dan dengan demikian mengumpulkan kemajuan mereka. Sementara rencana ini mengasumsikan bahwa NATO akan menggunakan senjata nuklir untuk mendorong kembali setiap invasi Pakta Warsawa, hal itu tidak termasuk dalam serangan nuklir ke Prancis atau Inggris. Surat kabar berspekulasi ketika rencana ini dideklasifikasi, Prancis dan Inggris tidak boleh diserang dalam upaya membuat mereka menahan penggunaan senjata nuklir mereka sendiri.

"Able Archer 83" adalah latihan pos komando Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) lima hari dan dimulai pada 7 November 1983, yang membentang di Eropa Barat, berpusat di Markas Besar Tertinggi Sekutu Eropa (SHAPE) Markas Besar di Casteau, utara kota Mons. Latihan Able Archer mensimulasikan periode eskalasi konflik, yang berpuncak pada serangan nuklir terkoordinasi.

Sifat realistis dari latihan tahun 1983, ditambah dengan memburuknya hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan antisipasi kedatangan rudal nuklir strategis Pershing II di Eropa, membuat beberapa anggota Politbiro dan militer Soviet percaya bahwa Able Archer 83 adalah tipu muslihat, yang mengaburkan persiapan untuk serangan nuklir pertama yang asli. Sebagai tanggapan, Soviet menyiapkan kekuatan nuklir mereka dan menempatkan unit udara di Jerman Timur dan Polandia dalam keadaan siaga. "Ketakutan perang tahun 1983" dianggap oleh banyak sejarawan sebagai yang paling dekat dengan perang nuklir dunia sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Ancaman perang nuklir berakhir dengan berakhirnya latihan pada 11 November.[16][16][17][18][19][20][21][22][23]

Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI) diusulkan oleh Presiden AS Ronald Reagan pada tanggal 23 Maret 1983.[24] Di akhir masa kepresidenannya, banyak faktor (termasuk penonton di film 1983 The Day After dan kejadiannya didengarkan melalui pemberontak Soviet Archer 83 yang hampir memicu serangan pertama Rusia) telah membuat Ronald Reagan menentang konsep perang nuklir yang dapat dimenangkan, dan dia mulai melihat senjata nuklir lebih sebagai "kartu liar" daripada pencegah strategis. Meskipun ia kemudian percaya pada perjanjian pelucutan senjata yang secara perlahan mengumpulkan bahaya persenjataan nuklir dengan mengurangi jumlah dan status kewaspadaan mereka, ia juga percaya bahwa solusi teknologi dapat memungkinkan ICBM yang masuk akan ditembak jatuh, sehingga membuat AS kebal terhadap serangan pertama. Namun, Uni Soviet melihat konsep SDI sebagai ancaman besar, karena penyebaran sistem secara sepihak akan memungkinkan AS untuk melancarkan serangan pertama besar-besaran terhadap Uni Soviet tanpa rasa takut akan pembalasan.

Konsep SDI menggunakan sistem berbasis darat dan ruang angkasa untuk melindungi Amerika Serikat dari serangan rudal balistik nuklir strategis. Inisiatif ini berfokus pada pertahanan strategis daripada doktrin pelanggaran strategis sebelumnya dari Mutual Assured Destruction (MAD). Organisasi Inisiatif Pertahanan Strategis (SDIO) didirikan pada tahun 1984 di dalam Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengawasi Inisiatif Pertahanan Strategis.

Rencana operasional NATO untuk Perang Dunia Ketiga telah melibatkan sekutu NATO yang tidak memiliki senjata nuklir, yang menggunakan senjata nuklir yang dipasok oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari rencana umum perang NATO, di bawah arahan Panglima Tertinggi Sekutu NATO.[25][26][27][28]

Dari tiga kekuatan nuklir di NATO (Prancis, Britania Raya, dan Amerika Serikat) hanya Amerika Serikat yang menyediakan senjata untuk pembagian nuklir. Sampai November 2009, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan Turki masih menjadi tuan rumah senjata nuklir AS sebagai bagian dari kebijakan pembagian nuklir NATO. Kanada memiliki senjata nuklir sampai tahun 1984, dan Yunani sampai tahun 2001. Senjata nuklir taktis Britania Raya dari AS juga menerima seperti artileri nuklir dan misil Lance hingga 1992, meskipun Inggris adalah negara yang memiliki senjata nuklirnya sendiri; walaupun kebanyakan disimpan di Jerman.

Di masa damai, senjata nuklir yang disimpan di negara-negara non-nuklir dijaga oleh penerbang AS meskipun sebelumnya beberapa sistem artileri dan rudal dijaga oleh tentara Angkatan Darat AS; kode yang diperlukan untuk meledakkannya berada di bawah kendali Amerika. Jika terjadi perang, senjata harus dipasang di pesawat tempur negara kontestan. Senjata-senjata tersebut berada di bawah pengawasan dan kendali Skuadron Dukungan Munisi USAF yang ditempatkan di pangkalan operasi utama NATO yang bekerja sama dengan pasukan negara tuan rumah.[29]

Pada tahun 2005, 180 bom nuklir taktis B61 dari 480 senjata nuklir AS yang diyakini akan ditempatkan di Eropa berada di bawah pengaturan pembagian nuklir.[30] Senjata tersebut disimpan di dalam lemari besi di tempat penampungan pesawat yang diperkuat, menggunakan Sistem Penyimpanan dan Keamanan Senjata USAF WS3. Pesawat tempur pengiriman yang digunakan adalah F-16 Fighting Falcons dan Panavia Tornados.[31]

Perang Dunia II atau Perang Dunia Kedua (bahasa Inggris: World War II) (biasa disingkat menjadi PDII atau PD2) adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan puluhan negara di seluruh penjuru dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan pengetahuan ilmiahnya untuk keperluan perang, sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holokaus dan pemakaian senjata destruktif dalam peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.[1]

Banyak ahli berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai saat invasi Kerajaan Italia menuju Kerajaan Ethiopia pada tanggal 3 Oktober 1935 dan berakhir dengan kapitulasi Kerajaan Ethiopia pada tanggal 5 Mei 1936

Ada juga yang berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai dengan Perang Sino-Jepang 2, dengan tujuan mendapatkan lebih banyak pengaruh di kawasan asia dan mendapatkan SDA Tiongkok.

Tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan invasi ke Polandia oleh Jerman yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Prancis dan Britania Raya pada tanggal 3 September 1939. Sejak akhir tahun 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman membentuk aliansi Poros bersama Italia, menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik. Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang menandakan terbukanya invasi darat terbesar sepanjang sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.

Serbuan Poros berhenti pada tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut seperti Pertempuran Midway serta mengalami kemunduran di front China. Tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara, Normandy dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur, invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara strategis di semua front. Tahun 1944, pihak Sekutu menyerbu Prancis, sementara Uni Soviet merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok di Eropa Timur dan menyerbu Jerman beserta sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan Polandia dan penyerahan tanpa syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945, Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti dengan menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros.

Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[1] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dingin yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk mulai menjalani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.

Awal terjadinya perang umumnya disetujui pada tanggal 1 September 1939, dimulai dengan invasi Jerman ke Polandia; Britania dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian. Tanggal lain mengenai awal perang ini adalah dimulainya Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada 7 Juli 1937.[2][3]

Lainnya mengikuti sejarawan Britania Raya A. J. P. Taylor, yang percaya bahwa Perang Tiongkok-Jepang dan perang di Eropa beserta koloninya terjadi bersamaan dan dua perang ini bergabung pada tahun 1941. Artikel ini memakai penanggalan konvesional. Tanggal-tanggal awal lainnya yang sering dipakai untuk Perang Dunia II juga meliputi invasi Italia ke Abisinia pada tanggal 3 Oktober 1935.[4] Sejarawan Britania Raya Antony Beevor memandang awal Perang Dunia Kedua terjadi saat Jepang menyerbu Manchuria bulan Agustus 1939.[5]

Tanggal pasti akhir perang juga tidak disetujui secara universal. Dari dulu disebutkan bahwa perang berakhir saat gencatan senjata 14 Agustus 1945 (V-J Day), alih-alih penyerahan diri resmi Jepang (2 September 1945); di sejumlah teks sejarah Eropa, perang ini berakhir pada V-E Day (8 Mei 1945). Meski begitu, Perjanjian Damai dengan Jepang baru ditandatangani pada tahun 1951,[6] dan dengan Jerman pada tahun 1990.[7]

Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hungaria, Kekaisaran Jerman, Kerajaan Bulgaria dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang seperti Prancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta dari runtuhnya Austria-Hungaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.

Meski muncul gerakan pasifis setelah Perang Dunia I,[8][9] kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang dengan jumlah besar, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya hingga menjadi 100.000 tentara tanpa angkatan udara serta ukuran tonase kapal perang maksimal ⅓ dari kapal terbesar Britania Raya

Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan kemenangan tentara merah dan menuju sebuah pemerintahan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Prancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dengan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".[10]

Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.[11]

Partai Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Tiongkok pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis.[12] Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Tiongkok[13] sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo.[14]

Terlalu lemah melawan Jepang, Tiongkok meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan sukarelawan Tiongkok melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.[15]

Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Dikarenakan Partai Nazi menjadi partai terbesar di parlemen saat itu. Setelah Presiden Hindenburg meninggal, ia mendeklarasikan diri sebagai Fuhrer Jerman Nazi. Ia menghapus demokrasi, menciptakan rezim yang mementingkan chauvinisme, dan segera memulai serangkaian program pembangunan kembali ekonomi Jerman yang terpuruk dan kampanye persenjataan kembali.[16] Sementara itu, Prancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu kembali setelah Hitler memerintahkan untuk menganeksasinya kedalam teritori Jerman Nazi.

Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Prancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Prancis. Sebelum diberlakukan, pakta Prancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna.[17][18] Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus.[19] Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.[20]

Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[21] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru,[22] berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di Tiongkok, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.[23]

Perang Dunia ke 3 jadi Tanda Akhir Zaman?

Menurut Buya Yahya, perang bisa terjadi kapan saja, tapi tidak lantas dijadikan sebagai tanda kiamat atau Al Marhalah Al Kubro. Tidak semua tanda kiamat akan dialami oleh manusia. Tugas manusia hanyalah meyakini datangnya hari kiamat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jangan menghubungkan kejadian hari ini dengan ayat. Kalau menduga, mungkin iya tapi jangan dipastikan 'oh itu ayat ini-ini'. Mengilmiah-ilmiahkan, menghubung-hubungkan tapi kita bukan ahlinya itu bermasalah," kata Buya Yahya dalam You Tube Buya Yahya.

Buya Yahya mengatakan, tidak semua bisa dihubungkan dengan hari kiamat. Ada beberapa tanda kiamat besar lainnya yang akan terjadi di antaranya keluarnya dajjal, keluarnya ya'juj wa ma'juj, hadirnya imam mahdi, hilangnya mushaf Al-quran, penghancuran ka'bah, munculnya dabbah yaitu binatang yang bisa berbicara, terbitnya matahari dari barat, keluarnya dukhan, terjadinya tiga gerhana, dan keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke Syam.

Al Malhamah Al Kubro merupakan perang antara Al-Mahdi dan Eropa Romawi yang melibatkan 960.000 pasukan. Menurut buku Ensiklopedia Kiamat oleh Tim GIP, dalam perang ini, kaum muslimin akan meraih kemenangan dan bergerak ke konstantinopel untuk merebutnya. Perang akhir zaman ini terjadi sebelum munculnya dajjal.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

عُمْرَانُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَرَابُ يَثْرِبَ وَخَرَابُ يَثْرِبَ خُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ وَخُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ فَتْحُ قُسْطَنْطِينِيَّةَ وَفَتْحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ خُرُوجُ الدَّجَّالِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى فَخِذِ الَّذِي حَدَّثَهُ أَوْ مَنْكِبِهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذَا لَحَقٌّ كَمَا أَنَّكَ هَاهُنَا أَوْ كَمَا أَنَّكَ قَاعِدٌ يَعْنِي مُعَاذَ بْنَ جَبَل

"Ramainya Baitul Maqdis adalah tanda kehancuran kota Madinah, hancurnya kota Madinah adalah tanda terjadinya peperangan besar, terjadinya peperangan besar adalah tanda dari pembukaan kota Konstantinopel, dan pembukaan kota Konstantinopel adalah tanda keluarnya Dajjal." Kemudian beliau menepuk-nepuk paha orang yang beliau ceritakan tentang hadits tersebut, atau dalam riwayat lain, 'pundaknya.' Kemudian bersabda, "Semua ini adalah sesuatu yang benar, sebagaimana engkau -Mu'adz bin Jabal- sekarang berada di sini adalah sesuatu yang benar. (HR. Abu Daud)

Menurut buku Kemunculan Dajjal & Imam Mahdi Semakin Dekat oleh Ust Khalilurrahman El-Mahfani, dalam peperangan ini, kedua belah pihak tidak lagi menggunakan senjata canggih, namun hanya pedang, tombak, dan senjata sebagai mana yang digunakan pada abad pertengahan. Disebutkan bahwa perang dipimpin langsung oleh Imam Mahdi, sementara aliansi bangsa Eropa dipimpin oleh seorang panglima andalan mereka yang didukung oleh kaki tangan dajjal.

Sebuah hadits riwayat muslim mengatakan, Al Malhamah Al Kubra kan terjadi selama 4 hari (babak) berturut-turut. 1/3 kaum muslimin melarikan diri dari pertempuran, 1/3 lagi mati syahid, dan 1/3 sisanya mendapatkan kemenangan.

Saat perang itu meletus, kekuatan legim kaum muslimin berpusat di Damaskus, di sebuah tempat bernama al-Ghauthah. Ketika itu, mereka adalah pasukan terbaik di muka bumi. Allah memenangkan mereka atas bangsa Romawi.

Jumlah korban yang berjatuhan akibat pertempuran ini begitu besar. Dalam satu sumber, perbandingan sekitar 5 juta: 100. Angka ini berbeda-beda antara satu sumber dan lainnya.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perang dunia ketiga tidak bisa dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat. Tugas umat muslim adalah meyakini datangnya hari kiamat dan tidak mengaitkan satu kejadian dengan hari akhir tersebut.

Halo Sahabat Minjend!

Pernahkah Sahabat Minjend mendengar tentang kemungkinan terjadinya Perang Dunia Ke-3? Topik ini sering menjadi perbincangan hangat di berbagai media dan forum internasional. Yuk, kita bahas lebih dalam tentang apa itu Perang Dunia Ke-3, faktor-faktor yang bisa memicunya, dan bagaimana kita bisa mempersiapkan diri.

Invasi Italia ke Ethiopia (1935)

Perang Italia-Abisinia Kedua adalah perang kolonial singkat mulai bulan Oktober 1935 sampai Mei 1936. Perang ini terjadi antara angkatan bersenjata Kerajaan Italia (Regno d'Italia) dan angkatan bersenjata Kekaisaran Ethiopia (juga disebut Abisinia). Perang ini berakhir dengan pendudukan militer di Ethiopia dan aneksasinya ke koloni baru Afrika Timur Italia (Africa Orientale Italiana, atau AOI); selain itu, perang ini membuka kelemahan Liga Bangsa-Bangsa sebagai kekuatan pelindung perdamaian. Baik Italia dan Ethiopia adalah negara anggota, tetapi Liga ini tidak berbuat apa-apa ketika negara pertama jelas-jelas melanggar Artikel X yang dibuat oleh Liga ini.[24]